Headlines News :
Home » , , » [Features] Menguak Keindahan Air Terjun Blang Kulam

[Features] Menguak Keindahan Air Terjun Blang Kulam

Written By Global Jurnal on Saturday, July 21, 2012 | 23:30

Cuaca di luar lumayan terik walaupun langit diselimuti awan putih tipis-tipis menyamarkan warna biru di langit. Jam sudah menunjukkan pukul 11 siang, dan aku baru saja berhasil mengenyahkan rasa malas dari atas kasur untuk keluar rumah. Kedua ban sepeda sudah dipompa keras, ransel sudah diisi bekal berupa biskuit dan air minum.

Tujuanku kali ini adalah mencari lokasi objek wisata Blang Kulam yang disebutkan terletak di Desa Sidomulyo, Kecamatan Kuta Makmur, Kabupaten Aceh Utara. Begitu hasil pencarianku di internet. Aku sendiri sudah bertanya-tanya ke beberapa orang kawan yang sudah pernah ke sana, tapi tidak ada yang bisa menjelaskan rutenya dengan jelas karena jalan menuju ke sana memang sangat jauh. Kawan-kawan di kantor yang asli orang Lhokseumawe pun ada yang belum pernah ke sana. Bahkan Google Map pun tidak punya rute salah satu wisata Aceh yang sudah lama ditinggalkan ini.

Tiba di desa "Blang Weue Panjoe"


Berdasarkan informasi yang ala kadarnya tadi, aku memacu sepeda ke Cunda. Jika keluar dari kota Lhokseumawe, langsung belok kanan melewati mesjid pertama lalu sekitar 500 meter kemudian ada lorong di sebelah kiri jalan yang berdampingan dengan warung yang disebut Simpang Buloh.
Di ujung lorong sebelah kiri ada kompleks batalyon, belok ke kiri lalu melewati SMA 5 Lhokseumawe. Selanjutnya perjalanan tinggal mengikuti jalan lurus saja.



Terik matahari tidak berkurang sedikitpun ketika aku mulai memasuki Gampong Blang Awoe Panjoe. Jalan aspal yang mulus digantikan dengan jalan tanah berbatu dan berdebu. Setiap kendaraan yang lewat menerbangkan debu coklat ke udara, debunya menempel kemana-mana. Terhirup pengendara motor, pejalan kaki, dan pengendara sepeda sepertiku dan juga menempel di dedaunan pohon-pohon yang menaungi kompleks pemakaman umum di sisi kanan jalan.

Jalan menuju ke Blang Kulam adalah jalan yang sebelah kanan.
Sekitar 3 kilometer lagi anda akan tiba di Keudee Beureugang
lalu belok ke kiri dan terus ikuti jalannya.
Keringat mengucur di dahi hingga membasahi dagu. Sekali-kali angin bertiup lebih kencang dan meniup tetesan keringat mengalir ke dalam mata dan membuatnya perih. Punggung yang dibebani ransel dari kilometer pertama sudah basah dan lengket. Hawa panas bergulung-gulung membuat hidung terasa kering ketika sepedaku melaju di sebuah jalan beraspal mulus yang membelah persawahan yang mulai digarap petani. Benih-benih padi yang sudah tumbuh menghijaui petak-petak kecil di sudut dalam petak sawah. Beberapa ekor burung bangau kepala kuning terbang dan hinggap sembarangan di atasnya. 

Pada petak yang lain, beberapa perempuan sedang tekun menanam benih-benih yang sudah jadi. Sudah lama sekali aku tidak menyaksikan pemandangan pedesaan dan persawahan seperti ini. Menikmati aroma lumpur basah yang ikut terbang bersama bangau-bangau putih berkepala kuning. Aroma yang melemparkan kembali ke ingatan masa kecilku dulu.


Perjalanan semakin jauh dan kaki sudah mulai terasa pegal. Di sebuah pertigaan yang entah keudee (kedai) apa namanya, aku berbelok ke kiri dan dua kilometer kemudian tiba di Keudee Simpang Keuramat. Inilah salah satu keunikan di Aceh, jika di setiap persimpangan yang ada toko-toko atau kedai-kedai maka simpang itu dinamai keudee lalu diikuti nama kampungnya. Aku berhenti di sebuah meunasah (mushala), selesai shalat aku bertanya arah jalan menuju desa Sidomulyo tadi. Ternyata aku mengambil jalan yang salah. Seharusnya aku mengambil jalur ke kanan di pertigaan yang sudah aku lewati sekitar 4 km.
Sekitar 5 km kemudian, lagi-lagi aku salah jalan. Sesampainya di Keudee Beureugang, harusnya berbelok ke kiri dan melewati beberapa toko-toko lagi.
Setelah berada di jalan yang benar, penderitaan belum juga berakhir. Di depanku, terlihat jalan aspal menanjak. Tenagaku benar-benar tinggal separuh jiwa lagi. Pemandangan di kiri-kanan jalan pun tak ada yang membuat decak kagum. Yang terlihat hanya kebun kelapa sawit, kebun pinang, rambutan, semak, dan rumah-rumah.

Semangat mulai luruh ketika aku melewati sebuah desa yang pohon-pohonnya didominasi kelapa sawit. Seorang anak yang aku tanyai bilang kalau Blang Kulam masih jauh sekali. Aku memutuskan untuk istirahat dan minum di sebuah warung yang pemiliknya berpenampilan seperti nyak-nyak (ibu-ibu) tempo dulu. Penutup kepala khas dan bakung sugi mencuat dari bibir. Semangatku kembali naik ketika diberi tahu lokasi yang kucari sudah dekat. Tapi tanjakannya membuat lutut semakin lemas.

Menuruni ratusan anak tangga menuju ke lokasi air terjun.
Pikiranku teralihkan dengan membayangkan kondisi daerah ini di masa konflik antara pemerintah RI dan GAM tempo dulu. Daerah ini merupakan tempat tinggal ratusan kepala keluarga transmigran dari pulau Jawa. Di masa konflik itu mereka mengungsi, sebagian besar kembali ke kampung halaman masing-masing, atau tinggal di tempat penampungan di Sumatra Utara. Pastilah daerah ini menjadi sangat mencekam karena sepi pada siang dan malam hari. Hanya riuh jika suara letusan senjata ketika terjadi kontak tembak. Mungkin di jalan yang sedang aku lalui ini pernah bergelimang mayat-mayat yang mati tertembus peluru atau mati dibunuh karena dikira musuh. Wallahu’alam.

Sejauh 1 kilometer dari kedai tadi, jalan aspal terputus dan disambung dengan jalan berbatu sejauh 700 meter. Aku membaca petunjuk arah air terjun di sebuah dinding rumah yang sepertinya dirusak pada jaman konflik dulu. Aku membelokkan sepeda ke kanan di atas jalan beton. Setelah membayar parkir sebesar 5.000 rupiah aku menuruni tangga yang lebarnya 1,5 meter. Di anak tangga pertama dapat kita lihat pemandangan hutan dengan sungai yang berkelok-kelok menghampar indah di depan mata. Jika sudah pukul 6 sore, dari kejauhan lidah api dari cerobong PT. Arun menari-nari di balik bukit.

Sebuah pohon di tepi tangga.
Menuruni tangga-tangganya pun harus hati-hati karena tingkat kecuramannya yang lumayan ekstrim. Jika musim hujan, tangga menjadi licin dan berlumut. Dibutuhkan waktu lebih dari 10 menit menuruni tangga hingga mencapai sungai. 

Akhirnya Air Terjun Blang Kulam yang membuatku penasaran itu sudah di depan mata. Ada dua curahan air yang menghempas ke kolam yang dalam. Pemandangan air terjun terhalang sedikit oleh sebongkah batu besar yang seperti menjadi pagar pemisah antara kolam pertama yang mengalirkan air ke kolam kedua. Kolam yang menjadi penampung alami air jatuhan dari aliran sungai di atas dihalangi oleh dinding-dinding batu yang berlumut dan basah setinggi 10 meter. Pohon-pohon tinggi memayungi aliran sungai dan bebatuan di bawahnya.





Akhirnya Air Terjun Blang Kulam yang membuatku penasaran itu sudah di depan mata. Ada dua curahan air yang menghempas ke kolam yang dalam. Pemandangan air terjun terhalang sedikit oleh sebongkah batu besar yang seperti menjadi pagar pemisah antara kolam pertama yang mengalirkan air ke kolam kedua. Kolam yang menjadi penampung alami air jatuhan dari aliran sungai di atas dihalangi oleh dinding-dinding batu yang berlumut dan basah setinggi 10 meter. Pohon-pohon tinggi memayungi aliran sungai dan bebatuan di bawahnya.

Anak sungai yang mengalir di antar bebatuan besar.
Sambil menikmati udara segar dan pemandangan air terjun yang asri, aku merendam kedua kakiku ke dalam air yang terasa begitu dingin dan merelaksasi otot-otot kaki yang tegang setelah bersepeda berjam-jam. Berkali-kali perhatianku teralih ke puluhan ekor capung bersayap hijau dan merah yang berkilau ditimpa cahaya matahari. Mereka hinggap sebentar di batu-batu basah berlumut lalu kembali terbang. Anak-anak ikan berkerumun di dekat-dekat kakiku seolah tak terusik dengan kedatangan manusia ke habitat mereka. 


Setelah keringat kering di badan, aku mengganti pakaian untuk berenang. Sensasi segar dan dingin air kolam benar-benar membuat jiwa dan ragaku kembali fresh. Aku melihat beberapa orang terjun dari atas tebing tinggi ke dalam kolam. Aku segera berenang ketepian kolam lalu memanjat naik ke atas tebing. Melihat permukaan air dari atas tebing membuatku gamang. Rasanya terlalu tinggi untuk terjun ditambah lagi rasa khawatir jika tubuh membentur batu-batu besar di dasar kolam.

Air terjun Blang Kulam, Aceh Utara.
Lima menit berlalu dan aku masih berdiri dan cengar-cengir menatap air kolam. Riak-riak airnya seolah mencibirku yang tak kunjung terjun. Beberapa gadis menatapku penuh cemas. Gengsi pun naik mengalahkan rasa takut. Kutarik nafas dalam-dalam lalu meloncat melewati tepi tebing dan…byuurrr…tubuhku membuncah air kolam. Tapi segera tubuhku terangkat naik ke permukaan dan kuhirup udara banyak-banyak lewat mulut. Paru-paru kembali terisi penuh oleh oksigen dan saat pertama kali aku membuka mata, rasanya luar biasa lega. Rasa takut yang tadinya mencengkram erat kedua kaki menjadi tak berarti apa-apa lagi ketika berani kulawan. 


Hari ini, aku memberanikan diri untuk bersepeda seorang diri ke tempat yang belum pernah kukunjungi. Bahkan arah jalannya saja kupilih dengan menebak-nebak arah mana yang benar. Apa yang sudah kulalui di hari minggu ini dapat kuambil pelajaran bahwa orang yang lemah adalah orang yang terlalu takut sehingga menjadikannya seorang pemalas. Rasa takut tidak akan membawa kita kemana-mana. Rasa takut hanya membelenggu hati dan memasung kaki kita untuk keluar rumah dan menikmati keindahan alam ciptaan tuhan.[Citra Rahman]

Source: Hananan 
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Maskolis | Johny Portal | Johny Magazine | Johny News | Johny Demosite
Copyright © 2011. Global Jurnal - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger